Ketidakpastian Yang Berkelanjutan

Oleh
(D. Heru Nugroho)

“..........kepastian yang hakiki adalah ketidakpastian itu sendiri. Paling tidak di Indonesia ini, yang pasti selain mati, ialah ketidakpastian. Kita sudah kenyang setiap hari menghadapi ketidakpastian. Karena semuanya serba tidak pasti, makanya hanya ketidakpastianlah yang pasti.
..........walhasil sudah tertanam dalam-dalam di benak masyarakat kita. Jika kita kita membayar pajak, pastikah uang pajak itu berguna bagi rakyat? Tidak pasti! Jika kita menyeberang jalan di zebra cross, pastikah kita tidak ditabrak? Tidak pasti! Kalau kita saat ini menabung, pastikah kelak tabungan kita turun nilainya? (lagi-lagi) Tidak pasti! Jika kita jujur dan bekerja keras, bisakah dipastikan kita akan sukses? Jawabnya : Ada salam dari sukses. Nah, jika kita korupsi, bisakah dipastikan kita dipenjara? Wah, silahkan Anda kira-kira jawabannya sendiri!
Ketidakpastian mungkin cukup ada gunanya buat sebuah proses kreatif. .......... Celakanya keterangan inilah yang barangkali dipakai Soeharto untuk berproses kreatif membangun hukum. Sudah pasti hukumnya jadi nyentrik bentuknya, karena prosesnya tidak benar.
Masalahnya, membangun hukum tidak bisa dengan proses kreatif penciptaan, karena hukum itu aturan mutlak, dan menuntut presisi dan kepastian yang tinggi. Jika tidak begitu, maka mencuri itu bukan kriminal, tapi malahan bisa jadi bernilai survival. Karena toh, si pencuri itu mencuri guna menghidupi 18 anaknya yang masih kecil-kecil. Melanggar lampu merah lalu lintas itu bukan pelanggaran! Karena aturan orangtua saja sering tidak kita patuhi, masa harus patuh sama (sekedar) lampu, yang kebetula berwarna merah?
Kondisi ini lebih diperburuk lagi dengan paradigma berpikir aparat peradilan kita, yang serba formal, tanpa memperhitungkan kepastian-kepastian yang ada pada pemahaman tentang apa itu citarasa keadilan (justice). Genaplah, kalau ada sebagian orang menyatakan bahwa peradilan kita ini mirip dengan lagu Tu Wa Ga Pat yang dinyanyikan kelompok komedian Project Pop. Lucu abis!!!
Kepastian hukum pun akhirnya sekadar wacana. .........” (Republik Funky, Asal Usul Harry Roesli, 2005. 16-19).
Sayangnya musisi kawakan yang kritis itu sudah berpulang ke Tuhan YME pada akhir 2004 silam, seandainya Beliau saat ini masih diberi kekuatan untuk mengkritisi pemerintahan pasca era reformasi, maka saya yakin tulisan-tulisannya akan lebih pedas. Karena, ungkapan hati seorang Harry Roesli pada waktu melihat ketidakpastian selama era Orde Baru tersebut sebenarnya tidak seberapa ketika dibandingkan dengan pasca reformasi. Ya, ketidakpastian yang berkelanjutan!
Hukum All Size. Hukum yang harusnya pasti, dibuat menjadi sesuatu yang interpretatif, tergantung kepentingan apa, siapa, yang bagaimana, yang ingin di “hukum”kan. Dan tragisnya lagi hukum All Size ini diberlakukan dimana-mana, dimanapun ada upaya “penegakan” hukum. Banyak contoh proses hukum yang menerapkan sistem diatas, kalaupun disebutkan satu persatu saya yakin halaman ini tidak akan cukup.
Salah satunya dan masih lekat di benak saya yakni kasus dugaan korupsi Kasda dan Bantuan Hukum Pemkab Jember. Ketika proses hukum mulai berjalan pada awal 2007 lalu (setelah tidur sejak 2005), sempat terbersit di pikiran saya, bahwa hukum mulai ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak tebang pilih, bahkan saya hendak bicara bahwa kali ini bukan hukum All Size yang tidak pasti ukurannya, atau bahkan bukan karena dasar pesanan / order dari siapa dan untuk siapa di “hukum”kan.
Namun saya bersyukur, karena kalimat tersebut belum sempat saya ucapkan. Setelah proses hukum saya ikuti secara runtut dan detail sebagai seorang wartawan yang melakukan tugas peliputan, akhirnya saya yakin bahwa kalimat yang hendak saya ucapkan tersebut tidak perlu diucapkan. Kalaupun saya ucapkan pasti akan ditertawakan!! Khususnya oleh warga binaan di seluruh Lapas se-Indonesia.
Bagaimana tidak, ketika seorang tersangka ditahan hanya karena “desakan” setelah sekian lama menjadi ATM “badut-badut hukum”. Bagaimana juga ketika seorang tersangka yang lain tidak ditahan karena tidak ada yang “mendesak” untuk ditahan. Bagaimana ketika seorang terdakwa di vonis tinggi karena “desakan”, dan bagaimana ketika terdakwa lainnya divonis ringan karena luput dari “desakan”.
Atau bagaimana ketika tersangka, pelaku utama sama sekali tidak menjalani proses hukum karena lolos dari “desakan”. Padahal dalam satu perkara yang sama, aparat penegak hukumnya juga sama, lokasinya juga sama dan kebetulan masih dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan jangan lupa juga, bahwa masih dalam Berkas Acara Pidana (BAP) yang sama!
Alhasil, lagi-lagi masyarakat dibikin senang gembira dengan penegakan hukum model ini. Bagaimana tidak, masyarakat tidak lagi perlu repot-repot berpikir dan melihat hukum itu suatu hal yang pasti dan serius, karena hukum adalah hiburan, lelucon yang dimainkan oleh “badut-badut hukum” dengan berbagai ragam uniform.
Dan saya yakin akan lebih lucu lagi kalau “badut-badut hukum” ini bermain peran komedian pada Extravaganza menggantikan Tora cs, atau paling tepat menjadi bintang tamu di acara Empat Mata bersama Tukul. Jadi ketika ada penonton bertanya atau berseloroh “hukum kok tidak pasti, seharusnya kan pasti, kenapa tidak pasti?”, saya yakin akan dijawab oleh penonton yang lain juga, dengan 3 kata. “Dasar katro’, ndeso!!”
Kalaupun kebanyakan orang bangga akan ketidakpastian, enjoy dengan hukum yang tidak pasti, maka saya masih yakin ada orang yang bangga akan kepastian, enjoy dengan kepastian, meskipun perlu kesabaran yang tinggi. Ya tentu saja mereka yang mempunyai golongan darah W(aras).
Karena memang selayaknya hukum itu harus pasti, hukum adalah kaidah legal formal seperti yang terbaca dalam pasal-pasal atau diktum-diktum suatu peraturan. Hukum juga selayaknya sesuai dengan cita rasa keadilan (justice), supaya ada kepastian yang berkelanjutan, bukan ketidakpastian yang berkelanjutan!!!

Tidak ada komentar:

Kotak Surat

Nama
E-mail
Pesan