IQ HAKIM DIBAWAH RATA-RATA

Mengikuti sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Sdr Mujahri dalam perkara Bantuan Hukum (Bankum) terhadap terdakwa Sdr Djuwito hari senin tanggal 21 Januari 2008 dengan keputusan vonis bebas sangat mengagetkan. Penyampaian alasan dan pertimbangan termasuk di dalamnya menggunakan dasar Perda No. 4 Tahun 2005 yang kemudian berujung pada membebaskan Sdr. Djuwito dari segala dakwaan bagi saya sangat mengherankan. Lebih dari 10 menit saya mengaktifkan logika hukum di otak saya.
Pada akhirnya saya baru sadar bahwa SDM majelis hakim kita sangat lemah, untuk kasus yang menyangkut korupsi IQ mereka berada di bawah rata-rata yang diinginkan masyarakat. Kemampuan analisis dan logikanya rendah, bahkan mungkin berada di bawah mahasiswa Fak Hukum Unej semester V yang telah menempuh matakuliah hukum pidana. Kelemahan dan ketidakmampuan majelis hakim ditunjukkan dalam merangkai dakwaan dan tuntutan jaksa dan seluruh kesaksian yang terungkap di persidangan dengan landasan hukum yang berpedoman pada UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001.
Kasus Bankum merupakan kasus unik dan menurut istilah teman-teman KPK sebagai korupsi di atas korupsi. Untuk menyelamatkan korupsi pimpinan DPRD Jember yang dimotori oleh Sdr. Madini Farouq, Pemkab Jember yang dimotori oleh Sdr. Djuwito telah meloloskan anggaran Bankum. Anggaran Bankum Pemkab Jember dikeluarkan untuk melindungi koruptor di DPRD. Ini logika awal yang semestinya harus ditempatkan sebagai main concept yang pertama oleh majelis hakim.
Kesaksian dari saksi ahli yang sudah menuju kepada main concept semestinya tidak boleh diabaikan begitu saja dalam pengambilan keputusan. Pengkaburan main concept oleh saksi-saksi lain yang diajukan oleh terdakwa maupun oleh penasehat hukum tidak perlu diikuti dan majelis hakim harus independent. Hakim harus berlandaskan pada fakta persidangan dan frame aturan hukum terkait untuk mengambil sebuah keputusan.
Ironisnya keputusan vonis bebas dalam perkara Bankum akan bertabrakan dengan realitas yang disajikan oleh BPK dan KPK Coba kita perhatikan pendapat auditor BPK yang disajikan dalam LHP 2006:
halaman 94 s/d 97 yang menyangkut bantuan operasional kepada 44 anggota DPRD pada bulan Oktober 2005. Catatan: bantuan ini semula berupa THR dari Pemkab kepada 44 anggota DPRD, setelah diributkan oleh banyak LSM dirubah menjadi bantuan operasional. BPK pada kesimpulannya menganggap bahwa bantuan kepada 44 anggota DPRD Kab. Jember senilai Rp 440.000.000,- sebagai kerugian daerah dan anggota DPRD diharuskan mengembalikan ke Kas Daerah.
halaman 126 s/d 128 tentang THR dari Pemkab kepada 45 anggota DPRD Kab. Jember dan kepada (10 anggota) Muspida Plus masing-masing Rp 5.000.000 pada TA 2004 dan TA 2005. BPK pada kesimpulannya menganggap bahwa THR kepada Anggota DPRD dan Muspida Plus tanpa ada landasan hukum yang mendasari. Disposisinya DPRD dan Muspida Plus diharuskan mengembalikan ke Kasda .

Dua tahun berturut-turut LHP BPK menyebutkan bahwa pemberian THR ke DPR itu salah. Pemberian THR saja disalahkan dan harus mengembalikan, apalagi Bankum. Pernyataan hakim bahwa pengeluaran Bankum itu sah karena didukung oleh Perda No. 4 tahun 2005 itu sebagai bukti SDM Hakim rendah, toh nyatanya BPK tetap menyalahkan. BPK tidak menganggap bahwa kedudukan Perda No. 4 tahun 2005 itu lebih tinggi dari Kepmen, PP atau UU.
BPK mengabaikan Perda itu dan menganggap sebagai kesalahan yang sama telah dibuat oleh Pemkab dalam kaitannya dengan pemberian bantuan kepada instansi vertikal. BPK tidak menganggap DPRD itu sebagai bagian dari Pemkab, tetapi termasuk ke dalam instansi vertikal (Sdr. Djuwito yang sudah lama sebagai Sekda mestinya faham tentang ini). Majeli hakim semestinya menggunakan LHP sebagai main concept yang kedua.
Pemberian THR atau bantuan oleh Pemkab kepada DPRD juga tidak dibenarkan oleh Direktur Gratifikasi KPK RI, Lambok H. Hutauruk. Dalam suratnya No. B01/DGRAT/KPK/III/2007 tanggal 21 Maret 2007, yang ditujukan kepada Ketua LSM Anti Korupsi Jember, menyatakan bahwa pemberian Rp 440.000.000,- kepada 44 Anggota DPRD Kab. Jember masing-masing Rp 10.000.000 dipandang sebagai Gratifikasi (SUAP) dan berdasarkan pada Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) Nomor 24/626397/02/2007 tanggal 6 Pebruari 2007, Gratifikasi sebesar Rp 440.000.000,- telah disetorkan kepada kas Negara. Dari surat ini telah terbukti bahwa DPRD Kab. Jember itu terpisah dari Pemkab Jember sehingga pemberian dalam bentuk semacam THR/bantuan operasional dipandang sebagai SUAP. Seluruh anggota DPRD Jember tahu itu dan telah mengembalikan ke Kas Negara melalui KPK sesuai dengan SSBP di atas.
Yang menarik dari kasus Bankum dan Gratifikasi KPK ini adalah saksi Sdr. Shomad Djalil merupakan salah satu dari anggota DPRD Kab. Jember yang ikut menerima dan mengembalikan Gratifikasi, dan Sdr Djuwito sebagai bagian dari yang memberi Gratifikasi.
Aneh memang, di satu sisi mengakui bahwa pemberian dari Pemkab kepada DPR sebagai Gratifikasi dan harus dikembalikan, sedang pemberian Bantuan Hukum kepada Madini Farouq (Ketua DPRD), Kusen Andalas (Wakil Ketua), Mahmud S (Wakil Ketua). dan Shomad Djalil dipandang sebagai pemberian wajar kepada Penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Lagi-lagi kembali ke IQ SDM, untuk kasus korupsi mereka berada di bawah rata-rata. Sangat memprihatinkan. Memahami aturan yang sederhana saja tidak mampu.
Dampaknya bisa dipastikan “koalisi legal antara Pemkab dengan DPRD Jember untuk berbuat korupsi semakin merajalela”. Korupsi kuat Rakyat melarat. (penulis adalah Ketua LSM Media Centre dan Ketua Forum Penyelamat Unej)*

Tidak ada komentar:

Kotak Surat

Nama
E-mail
Pesan